Jumat, 08 Februari 2019

manajemen resiko perbankan syariah


BAB I
PENDAHULUAN
Ada ungkapan menarik, “bank adalah mesin resiko: mereka mengambil resiko, mentransformasi, dan kemudian melekatkannya pada produk dan jasa yang diberikannya”.Jauh sebelum itu, islam telah mendefenisikan konsep resiko dan usaha dengan sangat bagus sekali. Dalam suatu hadis disebutkan, “ al ghunmu bil ghurmi” artinya keuntungan melekat padanya resiko (Wahyudi, Dewi, Rosmanita, Prasetyo, Putri, & Haidir, 2013, p. 81).
Bank syariah akan selalu berhadapan dengan berbagai dengan berbagai jenis resiko dengan kompleksitas beragam dan melekat pada kegiatan usahanya. Resiko dalam konteks perbankan merupakan suatu kejadian potensial, baik dapat diperkirakan (anticipated) maupun yang tidak dapat diperkirakan (unanticipated) yang berdampak negatif terhadap pendapatan dan permodalan bank (Karim, 2013, p. 255).
Situasi eksternal dan internal perbankan mengalmi perkembangan pesat yang diikuti dengan semakin kompleksnya resiko kegiatan usaha perbankan sehingga diperlukan penerapan manajemen resiko yang matang. Penerapan manajemen resiko akan memberikan manfaat baik kepada perbankan maupun otoritas pengawasan perbankan. Manajemen resiko dibutuhkan untuk
mengidentifikasi, mengukur, dan mengendalikan berbagai macam resiko. (Veitzal & Arivin, 2010, p. 941)
Krisis finansial dunia yang terjadi mulai 2008, dan berlanjut hingga saat ini, semakin menegaskan perlunya penerapan manajemen resiko secara konsisten. Dibandingkan dengan krisis finansial 1998, dalam menghadapi krisis tahun 2008 perbankan Indonesia sudah lebih siap (Indonesia, Ikatan Bangkir, 2014, p. 339). Mekanisme yang terdapat pada perbankan syariah, tidak dapat terlepas pada resiko dalam menjalankan roda usahanya (Saputra, 2012, p. 2). Oleh karena itu, bank syariah harus dapat mengidentifikasi setiap resiko yang sedang dihadapi (Romdhoni, 2012, p. 3). Pembahasan paper berikut akan membahas lebih mendalam tentang implementasi manajemen resiko perbankan syariah di Indonesia.



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Manajemen Resiko Perbankan
1.      Pengertian Perbankan dan Manajemen Resiko
Istilah perbankan sudah tidak asing lagi bagi masyarakat umumnya bagi yang sudah pernah menggunakan jasa perbankan. Istilah perbankan berasal dari kata “bank” yaitu badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan mengeluarkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit. Atau bank adalah suatu badan usaha yang tugas utamanya sebagai lembaga perantara keuangan (financial intermediaries), yang menyalurkan dana dari pihak yang kelebihan dana (surplus) kepihak yang kekurangan dana (deficit) pada waktu yang ditentukan. Jadi perbankan adalah lembaga yang berfungsi sebagai lembaga intermediasi antara pihak yang surplus dana dengan deficit dana.
Sedangkan istilah manajemen berasal dari kata to manage berarti control. Dalam Bahasa Indonesia, dapat diartikan mengendalikan, menangani, atau mengelola (Herujito, 2001, p. 1). Selain itu, kata manajamen dalam kamus Besar Bahasa Indonesia berarti penggunaan sumber daya secara efektif untuk mencapai sasaran (Indonesia, Departemen Pendidikan, 2005, p. 708). Dalam bahasa yang sederhana efisiensi itu menunjukkan kemampuan organisasi dalam menggunakan sumber daya dengan benar dan tidak ada pemborosan. Setiap perusahaan akan berusaha mencapai tingkat output dan input seoptimal mungkin.
Kemudian istilah risiko menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah akibat yang kurang menyenangkan (merugikan, membahayakan) dari suatu perbuatan atau tindakan (Indonesia, Departemen Pendidikan, 2005, p. 959). Risiko sering dikatakan sebagai uncertainty atau ketidakpastian. Ketidakpastian sering diartikan dengan keadaan dimana ada beberapa kemungkinan kejadian dan setiap kejadian akan menyebabkan hasil yang berbeda. Tetapi, tingkat kemungkinan atau probabilitas kejadian itu sendiri tidak diketahui secara kuantitatif. Sedangkan pengertian dasar risiko terkait dengan adanya ketiakpastiannya terukur secara kuantitatif (Djohanoputro, Bramanto, 2006, p. 16).
Sering kali resiko muncul karena adanya lebih dari satu pilihan dan dampak dari tiap pilihan tersebut belum dapat diketahui dengan pasti, sebagaimana tidak pastinya masa depan. Selalu ada Opportunity cost yang membuntuti setiap pilihan yang diambil. Dengan demikian resiko bisa didefinisikan sebagai konsekuensi atas pilihan yang mengandung ketidak pastian yang berpotensi mengakibatkan hasil yang tidak diharapkan atau dampak negative lainya yang merugikan bagi pengambil keputusan. Inilah defenisi klasik dari risiko. Dari defenisi tersebut, risiko mengandung beberapa dimensi, yakni biaya peluang, potensi kerugian atau dampak negative lainya, ketidak pastian dan diperolehnya hasil yang tidak sesuai harapan. Dengan berbagai dimensi inilah risiko diukur, dimitigasi, dan dimonitoring selama proses bisnis berjalan (Wahyudi, Dewi, Rosmanita, Prasetyo, Putri, & Haidir, 2013, p. 4).
Manajemen risiko adalah suatu bidang ilmu yang membahas tentang bagaimana suatu organisasi menerapkan ukuran dalam memetakan berbagai permasalahan yang ada dengan menempatkan berbagai pendekatan manajemen secara komprehensif dan sistematis (Fahmi, 2011, p. 2). Dari berbagai definisi tersebut dapat kita simpulkan bahwa esensi menajamen risiko adalah kecukupan prosedur dan metodologi pengelolaan risiko sehingga usaha bank tetap dapat terkendali pada batas atau limit yang dapat diterima serta menguntungkan bank.

2.      Urgensi Manajemen Resiko Pada Perbankan Syariah
Pada masa dekade ini, industry perbankan Indonesia dihadapkan dengan risiko yang semakin kompleks akibat kegiatan usaha bank yang beragam mengalami perkembangan pesat sehingga mewajibkan bank untuk meningkatkan kebutuhan akan penerapan manajemen risiko untuk meminimalisasi risiko yang terkait dengan kegiatan usaha perbankan (Sari, 2014, pp. 1-17).
Masa depan industri perbankan Syari’ah akan sangat bergantung pada kemampuannya untuk merespons perubahan dalam dunia keuangan. Fenomena globalisasi dan revolusi teknologi informasi, menjadikan ruang lingkup perbankan Syari’ah sebagai lembaga keuangan telah melampaui batas perundang-undangan suatu negara. Implikasinya adalah, sektor keuanganpun menjadi semakin dinamis, kompetitif dan kompleks. Terlebih lagi adanya tren pertumbuhan merger lintas segmen, akuisisi, dan konsolidasi keuangan, yang membaurkan risiko unik tiap segmen dari industry keuangan tersebut (Rahmani, 2009, pp. 151-165)
Para pelaku usaha perbankan (bankir) menyadari bahwa dalam menjalankan fungsi jasa-jasa keuangan bank berada pada bisnis berisiko. Risiko dalam perbankan yaitu suatu kondisi yang sulit bagi sebuah bank yang nampak dalam bidang keuangan maupun dalam bidang lainnya. Bank saat ini harus menerapkan manajemen risiko. Bank harus menerima dan mengelola berbagai jenis risiko keuangan secara efektif, agar dampak negatif tidak terjadi untuk meminimalisir kerugian dari akibat tidak dijalankannya manajemen risiko yang efektif dan disiplin. (Mustikawati, 2013, pp. 1-7)
Dalam rangka meminimalisasi resiko yang dapat menimbulkan kerugian bagi bank, maka bank harus menerapkan manajemen resiko, yaitu serangkaian prosedur dan metodologi yang digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengendalikan resiko  yang timbul dari kegiatan usaha bank (Arifin, 2009, p. 272). Manajemen resiko merupakan aktivitas yang utama dari suatu bank sebagai lembaga intermediasi yang bertujuan untuk mengoptimalkan trade off antara resiko dan pendapatan, serta membantu merencanakan dan pembiayaan pengembangan usaha secara tepat, efektif dan efisien. Setiap lembaga keuangan, termasuk bank harus dapat mengidentifikasi dan mengontrol resiko yang melekat dalam kegiatan pengelolaan dana simpanan, portofolio aktiva produktif, dan kontrak off balance sheet (Veitzal & Arivin, 2010, p. 943).
Pada perbankan syariah, sistem manajemen risiko di bank-bank meliputi beberapa tahap berturut-turut sebagai berikut (Emira, 2013, pp. 180-193):
a.       Identifikasi risiko
b.      Risiko dan kuantifikasi modal
c.       Mengumpulkan atau pengelompokan risiko yang sama
d.      Kontrol sebelumnya
e.       Pemantauan risiko
Sasaran kebijakan manajemen resiko adalah mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengendalikan jalannya kegiatan usaha bank dengan tingkat resiko yang wajar secara terarah, terintegrasi, dan berkesinambungan. Dengan demikian, manajemen resiko berfungsi sebagai filter atau pemberi peringatan dini (early warning system) terhadap kegiatan usaha bank (Karim, 2013, p. 255). Meskipun unsur pokok dari manajemen resiko meliputi identifikasi, mengukur, memonitor, dan mengelola berbagai eksposur resiko. Namun, semua hal tersebut tidak akan dapat diimplementasikan tanpa disertai dengan proses dan sistem yang jelas. Keseluruhan proses manajemen resiko harus meliputi seluruh departemen atau divisi kerja dalam lembaga sehingga tercipta budaya manajemen resiko (Ahmed, 2001, p. 30). Mengingat perbedaan kondisi pasar, struktur, ukuran, serta kompleksitas usaha bank, maka tidak ada satu sistem manajemen resiko yang universal untuk seluruh bank. Dengan demikian, setiap bank harus membangun sistem manajemen resiko sesuai dengan fungsi dan kompleksitas bank, dan menyediakan system organisasi manajemen resiko pada bank sesuai dengan kebutuhan Agar mencapai petumbuhan bisnis yang berkelanjutan (sustainable business growth) (Indonesia, Ikatan Bangkir, 2014, p. 342).

3.      Jenis Jenis Resiko Pada Perbankan Syariah
            Berdasarkan PBI Nomor 13/23/PBI/2011 tentang penetapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah. Terdapat sepuluh jenis risiko yang dihadapi bank islam, yaitu : risiko kredit, risiko likuiditas, risiko operasional, risiko hokum, risiko reputasi, risiko strategis, risiko kepatuhan, risiko imbal hasil, dan risiko investasi. Delapan risiko pertama merupakan risiko umum yang juga dihadapi oleh bank konvensional. Sedangkan dua terakhir merupakan risiko unik yang khusus dihadapi oleh bank islam. Penambahan dua risiko ini sejalan dengan platform manajemen risiko yang dikeluarkan oleh IFSB (Wahyudi, Dewi, Rosmanita, Prasetyo, Putri, & Haidir, 2013, p. 25). Berikut Resiko yang dihadapi oleh bank islam di Indonesia:

Tabel
Jenis-jenis Resiko Perbankan Syariah

No
Jenis Resiko
Uraian
1
Resiko Kredit
Resiko yang disebabkan oleh adanya kegagalan counterparty dalam memenuhi kewajibannya. Dalam bank syariah, resiko pembiayaan mencakup resiko produk dan resiko terkait pembiayaan koperasi.
2
Resiko Pasar
Resiko kerugian yang terjadi pada portofolio yang dimiliki oleh bank akibat adanya pergerakan variabel pasar (Adverse ovement) berupa nilai tukar dan suku bunga
3
Resiko Likuiditas
Resiko yang antara lain disebabkan oleh ketidakmampuan bank untuk memenuhi kewajibannya pada saat jatuh tempo
4
Resiko Operasional
Resiko yang antara lain disebabkan oleh ketidak cukupan atau tidak berfungsinya proses internal, human error, kegagalan system atau yang mempengaruhi operasional bank.
5
Resiko Hukum
Resiko yang disebabkan oleh adanya kelemahan aspek yuridis, seperti: adanya tuntutan hukum, ketiadaan peraturan perundang undangan yang mendukung atau kelemahan perjanjian seperti tidak terpenuhinya syarat keabsahan suatu kontrak atau pengikatan agunan yang tidak sempurna.
6
Resiko Reputasi
Resiko yang antara lain disebabkan oleh adanya publikasi negative yang terkait dengan kegiatan bank atau adanya persepsi negative terhadap bank.
7
Resiko Strategis
Resiko yang antara lain disebabkan oleh adanya penerapan dan pelaksanaan strategi bank yang tidak tepat, pengambilan keputusan bisnis yang tidak tepat atau bank tidak mematuhi/ tidak melaksanakan perubahan perundang-undangan dan ketentuan lain yang berlaku. Pengelolaan resiko strategis dilakukan melalui penerapan sistem pengendalian internal secara konsisten
8
Resiko Kepatuhan
Resiko yang disebabkan oleh tidak dipatuhinya ketentuan-ketentuan yang ada, baik ketentuan internal maupun eksternal.
9
Resiko Imbal Hasil
Resiko akibat perubahan tingkat imbal hasil yang dibayarkan kepada nasabah karena terjadi perubahan tingkat imbal hasil yang diterima bank dari penyaluran dana, yang dapat memengaruhi perilaku nasabah dana pihak ketiga bank
10
Resiko Investasi
Resiko akibat bank ikut menanggung kerugian usaha nasabah yang dibiayai dalam pembiayaan berbasis bagi hasil.



a.       Manajemen Risiko Pembiayaan
Penyebab utama terjadinya resiko kredit adalah terlalu mudahnya bank memberikan pinjaman atau melakukan investasi karena terlalu dituntut untuk memanfaatkan kelebihan likuiditas, sehingga penilaian kredit kurang cermat dalam mengantisipasi berbagai kemungkinan resiko usaha yang dibiayai (Arifin, 2009, p. 263).
Contoh: Nasabah A mengambil KPR dari Bank B dengan skema Murabahah berjangka waktu 25 (dua puluh lima) tahun. Pada tahun pertama sampai tahun keempat, Nasabah tersebut masih lancar dalam mebayar angsuran. Pada tahun keenam, Nasabah di PHK dari perusahaannya. Atas kejadian itu, Bank B berpotensi menghadapi resiko kredit karena Nasabag tidak memiliki pendapatan lagi untuk membayar angsuran rumah yang sudah dinikmatinya (Indonesia, Ikatan Bangkir, 2014, p. 243).

Tabel
Penyebab Kredit Gagal

No
Faktor Internal
Faktor Eksternal
1
Adanya Self Dealing atau tindak kecurangan dari aparat pengelola kredit
Kegiatan perekonomian makro/ kebijakan pemerintah yang diluar jangkauan bank untuk diperkirakan
2
Minimnya pengetahuan para pengelola kredit
Adanya bencana alam dan kejadian diluar dugaan
3
Kurang baiknya manajemen sistem informasi yang dibangun pada bank yang bersangkutan
Adanya tekanan dari berbagai kekuatan politik di luar bank sehingga menimbulkan kompromi terhadap prinsip-prinsip kredit yang sehat.
4
Tidak adanya kebijakan yang baik pada bank yang bersangkutan
Adanya kesulitan/kegagalan dalam proses likuidasi dan perjanjian kredit yang telah disepakati
5
Lemahnya organisasi dan manajemen dari bank yang bersangkutan
Adanya persaingan cukup tajam diantara perbankan dalam hal perkreditan

Resiko tersebut dapat ditekan dengan cara memberi batas wewenang keputusan kredit bagi setiap perkreditan, berdasarkan kapabilitasnya (autorize limit) dan batas jumlah kredit yang dapat diberikan pada usaha atau perusahaan tertentu (credit line limit), serta melakukan diversifikasi (Arifin, 2013: 263). Untuk meminimalkan kemungkinan terjadinya kerugian pembiayaan, diperlukan teknik sebagai berikut (Rianto, 2013, p. 109):
1)      Model pemeringkatan untuk pembiayaan perorangan
2)      Manajemen portofolio  pembiayaan
3)      Agunan
4)      Pengawasan arus kas
5)      Manajemen pemulihan
6)      Asuransi

b.      Manajemen Risiko Pasar
Resiko kerugian yang terjadi pada portofolio yang dimiliki oleh bank akibat adanya pergerakan variabel pasar (Adverse movement) berupa nilai tukar dan suku bunga. Sebagai contoh:
1)      Bank membeli sukuk negara dengan kupon tetap, di mana harga pasar obligasi akan turun apabila imbal hasil pasar meningkat;
2)      Bank membeli USD dengan nilai dalam valuta rupiah akan menurun apabila nilai tukar USD melemah;
3)      Bank melakukan aktivitas trading atau jual beli surat berharga (Indonesia, Ikatan Bangkir, 2014, p. 344).
Resiko nilai tukar valuta asing dapat ditekan dengan cara membatasi atau memperkecil posisi, atau bahkan dapat dihindari sama sekali bila bank selalu mengambil posisi squaire. Sedangkan resiko suku bunga dalam perbankan syariah tidak akan berpengaruh, karena perbankan syariah tidak berurusan dengan suku bunga (Arifin, 2009, p. 264).
Bank syariah harus membentuk proses manajemen resiko pasar dan sistem informasi yang sehat dan komprehensif yang berisikan antara lain sebagai berikut (Rianto, 2013, p. 139):
1)      Kerangka konseptual untuk mendorong identifikasi resiko pasar yang mendasarinya;
2)      Pedoman untuk pengelolaan aktivitas pengambilan resiko pada portofolio yang berbeda pada investasi terbatas dan limit resiko pasarnya;
3)      Kerangka penentuan harga tepat, penilaian dan pengakuan pendapatan;
4)      Sistem informasi manajemen (SIM) yang kuat untuk pengendalian, pemantauan, dan pelaporan eksposur resiko pasar dan kinerja manajemen senior.

c.       Manajemen Risiko Likuiditas
Resiko yang antara lain disebabkan oleh ketidakmampuan bank untuk memenuhi kewajibannya pada saat jatuh tempo Contoh: Sebuah bank banyak memberikan kredit jangka panjang kepada debiturnya dengan sumber dana yang didominasi deposito lembaga 1 (satu) tahun. Dengan struktur neraca missmatch maturity seperti itu, bank tersebut berpotensi menghadapi resiko likuiditas (Ikatan Bankir Indonesia: 345). Beberapa faktor yang menyebabkan bank syariah juga menghadapi resiko likuiditas, antara lain;
1)      Turunnya kepercayaan nasabah terhadap sistem perbankan, khususnya perbankan syariah;
2)      Kebergantungan pada sekelompok deposan;
3)      Keterbatasan instrumen keuangan untuk solusi likuiditas;
4)      Mismatching antara dana jangka pendek dengan pembiayaan jangka panjang;
5)      Bagi hasil antar bank kurang menarik karena financial settlementnya harus menunggu selesai perhitungan cash basis pendapatan bank yang biasanya baru terlaksana pada akhir bulan.
6)      Di dalam kontrak mudhorobah, memungkinkan nasabah untuk menarik dananya kapan saja tanpa pemberitahuan lebih dahulu (Rianto, 2013: 248).
Likuiditas yang tersedia harus cukup, tidak boleh terlalu kecil sehingga mengganggu kebutuhan operasional sehari-hari, tapi juga tidak boleh terlalu besar karena akan menurunkan efisiensi dan berdampak rendahnya tingkat profitabilitas. Dalam rangka melaksanakan fungsi pengendalian resiko likuiditas bank harus menerapkan fungsi assets and liability management (ALMA) (Arifin, 2009, p. 245).
Tujuan dari manajemen resiko likuiditas adalah memelihara kecukupan likuiditas bank sehingga setiap waktu mampu memenuhi kewajiban bank yang jatuh tempo, menjaga tingkat kepercayaan nasabah terhadap sistem perbankan, menjaga kecukupan likuiditas bank untuk mendukung aset bank berkelanjutan (Rianto, 2013, p. 250).

d.      Manajemen Risiko Operasional
Resiko operasional merupakan resiko yang disebabkan oleh ketidakcukupan atau tidak berfungsinya proses internal, human error, kegagalan sistem atau yang mempengaruhi operasional bank. Sebagai contoh:
1)      Pemalsuan bilyet deposito oleh karyawan bank yang kemudian dijadikan agunan pembiayaan;
2)      Kesalahan postingan uang masuh karena pegawai yang ditunjuk kurang berpengalaman;
3)      Terjadi bencana alam berupa banjir besar sehingga bank tidak dapat beroperasi secara normal;
4)      Kejahatan keuangan seperti fraud yang sering dilakukan oleh pihak luar yang bekerja sama dengan pegawai bank (Indonesia, Ikatan Bangkir, 2014, p. 345).
Ada tiga faktor yang menjadi penyebab utama timbulnya resiko ini, yaitu: Infrastruktur seperti teknologi, kebijakan, lingkunan, pengamanan, perselisihan, dan sebagainya; Proses; danSumber daya (Karim, 2013, p. 275).

e.       Manajemen Risiko Hukum
Resiko yang disebabkan oleh adanya kelemahan aspek yuridis, seperti: adanya tuntutan hukum, ketiadaan peraturan perundangundangan yang mendukung atau kelemahan perjanjian seperti tidak terpenuhinya syarat keabsahan suatu kontrak atau pengikatan agunan yang tidak sempurna  (Rianto, 2013, p. 213).
Sebagai Contoh: Bank H tidak melakukan legal meeting dengan baik ketika memberikan kredit modal kerja kepada PT A, terutama verifikasi atas pengesahan Kementrian Hukum dan HAM atas perubahan Anggaran Dasar PT A. Di kemudian hari, ternyata pengurus PT A telah memalsukan pengesahan Anggaran Dasar PT A. Perbuatan pengurus PT A tersebut telah menyebabkan Bank H berpotensi mengalami resiko hukum (Indonesia, Ikatan Bangkir, 2014, p. 345).
Tujuan utama manajemen resiko hukum adalah memastikan proses manajemen resiko dapat meminimalkan kemungkinan dampak negatif dari kelemahan aspek yuridis, ketiadaan, dan/atau perubahan peraturan perundangundangan. Dalam kaitan dengan resiko hukum ini, hal-hal yang perlu diperhatikan adalah:
1)      Keharusan memiliki kebijakanndan prosedur secara tertulis;
2)      Keharusan melaksanakan prosedur analisis aspek hokum terhadap produk dan aktivitas baru;
3)      Keharusan memiliki satuan kerja yang berfungsi sebagai ‘legal wacth”, tidak saja terhadap hokum positif tetapi juga terhadap fatwa DSN dan ketentuan-ketentuan lain.
4)      Keharusan menilai dampak perubahan ketentuan/ peraturan terhadap resiko hukum;
5)      Keharusan untuk menerapkan sanksi secara konsisten;
6)      Keharusan untuk melakukan kajian secara berkala terhadap akad, kontrak, dan perjanjianperjanjian bank dengan pihak lain dalam hal efektifitas dan enforceability  (Karim, 2013, p. 278).

f.       Manajemen Risiko Reputasi
Resiko reputasi disebabkan oleh adanya publikasi negatif yang terkait dengan kegiatan bank atauadanya persepsi negatif terhadap bank. Contoh: Mesin ATM Bank A sering mengalami “off- line” sehingga membuat kecewa nasabahnya setiap kali melakukan transaksi pada mesin ATM Bank A. Nasabah melampiaskan rasa kekecewaannya melalui kontak pembaca di Harian Nasional. Atas pemberitaan itu maka nasabah tersebut telah mengakibatkan Bank A berpotensi menghadapi resiko reputasi (Ikatan Bankir Indonesia: 346). Hal-hal yang sangat berpengaruh terhadap reputasi adalah: a) Manajemen; b) Pemegang saham; c) Pelayanan yang disediakan; d) Penerapan prinsip-prinsip syariah; e) Publikasi (Karim, 2013, p. 275).
Kegagalan manajemen resiko reputasi dapat menimbulkan penarikan besar-besaran dana pihak ketiga, menimbulkan masalah likuiditas, ditutupnya bank oleh otoritas, dan bahkan bisa mengalami kebangkrutan. Oleh karena itu, tujuan utama manajemen resiko reputasi adalah untuk mengantisipasi dan meminimalkan dampak kerugian dari resiko reputasi bank syariah. Resiko reputasi dalam bisnis dapat bersumber dari berbagai aktivitas bisnis bank syariah (Rianto, 2013, p. 245).
Apabila manajemen dalam pandangan stakeholder dinilai baik maka resiko reputasi menjadi rendah, demikian juga bila perusahaan dimiliki oleh pemegang saham yang kuat maka resiko reputasi rendah. Dalam hal pelayanan, bila pelayanan kurang baik maka resiko reputasi menjadi tinggi. Dalam penerapan prinsip prinsip syariah haruslah dilaksanakan secara konsisten agar tidak menimbulkan penilaian negative terhadap penerapan sistem syariah tersebut yang dapat mengakibatkan timbulnya publikasi negatif sehingga akan menaikkan tingkat resiko reputasi (Karim, 2013, p. 275).

g.      Manajemen Risiko Strategis
Resiko yang antara lain disebabkan oleh adanya penerapan dan pelaksanaan strategi bank yang tidak tepat, pengambilan keputusan bisnis yang tidak tepat atau bank tidak mematuhi/ tidak melaksanakan perubahan perundang-undangan dan ketentuan lain yang berlaku. Pengelolaan resiko kepatuhan dilakukan melalui penerapan system pengendalian internal secara konsisten. Indikasi dalam resiko strategi ini dapat dilihat dari kegagalan dalam mencapai target bisnis yang telah ditetapkan, baik target keuangan maupun nonkeuangan (Karim, 2013, p. 277).
Resiko strategis dapat bersumber antara lain dari kelemahan dalam proses formulasistrategi dan ketidaktepatan dalam perumusan strategi, sistem informasi manajemen (SIM) yang kurang memadai, hasil analisis lingkungan internal dan ekstrenal yang kurang memadai, penetapan tujuan strategis yang terlalu agresif, ketidaktepatan dalam implementasi strategi, dan kegagalan mengantisipasi perubahan lingkungan bisnis (Rianto, 2013, p. 223).
Contoh: Pada Rencana Bisnis Bank A tercantum rencana launching layanan internet banking dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada nasabahnya. Namun, layanan tersebut tidak diikuti peningkatan kapasitas core banking system sehingga sering terjadi kegagalan transaksi pada internet bankingnya. Atas ketidaksiapan infrastruktur Bank A, maka Bank A rentan terhadap resiko strategis (Indonesia, Ikatan Bangkir, 2014, p. 346).
Kegagalan manajemen resiko strategis dapat menimbulkan penarikan besar-besaran dana pihak ketiga, menimbulkan masalah likuiditas, ditutupnya bank oleh otoritas, dan bahkan bisa mengalami kebangkrutan. Oleh karena itu, tujuan utama manajemen resiko strategis adalah untuk memastikan bahwa proses manajemen resiko dapat meminimalkan kemungkinan dampak negatif dari ketidaktepatan pengambilan keputusan strategis dan kegagalan dalam mengantisipasi perubahan lingkungan bisnis (Rianto, 2013, p. 223).

h.      Manajemen Risiko Kepatuhan
Resiko yang disebabkan oleh tidak dipatuhinya ketentuanketentuan ketentuanketentuan yang ada, baik ketentuan internal maupun eksternal, seperti berikut:
1)      Kententuan Giro Wajib Minimum, Net Open Position, Non Performing Financing, dan Batas Maksimum Pemberian Pembiayaan;
2)      Ketentuan dalam penyediaan produk;
3)      Ketentuan dalam pemberian pembiayaan;
4)      Ketentuan dalam pelaporan baik laporan internal, laporan kepada Bank Indonesia maupun laporan kepada pihak ketiga lainnya;
5)      Ketentuan perpajakan;
6)      Ketentuan dalam akad kontrak;
7)      Fatwa Dewan Syariah Nasional (Karim, 2013: 276).
Resiko kepatuhan dapat bersumber antara lain dari perilaku setidaknya aktivitas bank yang menyimpang atau melanggar dari ketentuan atau peraturan perundang-udangan (Rianto, 2013, p. 233). Contoh: Petugas sebuah bank terlambat dalam menyampaikan laporan Sistem Informasi Debitur (SID) kepada Bank Indonesia. Atas keterlambatan pelaporan itu, bank tersebut akan dikenakan denda oleh Bank Indonesia. petugas tersebut telah membawa banknya sendiri menghadapi resiko kepatuhan (Indonesia, Ikatan Bangkir, 2014, p. 345).
Kegagalan manajemen resiko kepatuhan dapat menimbulkan penarikan besar-besaran dana pihak ketiga, menimbulkan masalah likuiditas, ditutupnya bank oleh otoritas, dan bahkan bisa mengalami kebangkrutan. Oleh karena itu, tujuan utama manajemen resiko untuk resiko kepatuhan adalah untuk memastikan bahwa proses manajemen resiko dapat meminimalkan kemungkinan dampak negatif dari perilaku bank syariah yang melanggar standar yang berlaku secara umum, ketentuan, dan/atau peraturan perundangundangan yang berlaku (Rianto, 2013, p. 233).

i.        Manajemen Risiko Imbal Hasil
Resiko akibat perubahan tingkat imbal hasil yang dibayarkan kepada nasabah karena terjadi perubahan tingkat imbal hasil yang diterima bank dari penyaluran dana, yang dapat memengaruhi perilaku nasabah dana pihak ketiga bank yang disebabkan oleh perubahan ekspektasi tingkat imbal hasil yang diterima dari bank syariah. Perubahan ekspektasi bisa disebabkan oleh faktor internal seperti menurunnya nilai aset bank atau faktor eksternal seperti naiknya return yang ditawarkan bank lain (Rianto, 2013, p. 275). Sebagai Contoh:
1)      Bank memberikan imbal hasil dana yang lebih kecil dibandingkan dengan bulan lalu akibat beberapa debiturnya mengalami penurunan kualitas pembiayaan;
2)      Bank mengambil kebijakan untuk meningkatkan tingakt imbal hasil dana guna mempertahankan nasabah deposan besar yang berpotensi kepada bank lain (Indonesia, Ikatan Bangkir, 2014, p. 346).
3)      Bank Syariah mengharapkan hasil 7% dari asetnya yang nantinya akan dibagikan kepada investor, pada saat yang sama BI rate naik menjadi 8%.
Dalam manajemen resiko imbal hasil, bank syariah harus memiliki sistem yang tepat untuk identifikasi dan pengukuran faktor yang bisa meningkatkan resiko imbal hasil tersebut. Bank syariah harus menggunakan teknik neraca untuk menimilisir eksposur menggunakan beberapa strategi berikut:
1)      Menentukan rasio laba pada masa depan dibandingkan dengan ekspektasi kondisi pasar;
2)      Mengembangkan instrumen baru yang sesuai syariah;
3)      Menerbitkan sekuritisasi tranches yang sesuai dengan aset yang diizinkan dalam ketentuan syariah (Rianto, 2013, p. 257).

j.        Manajemen Risiko Investasi
Resiko Investasi adalah resiko akibat bank ikut menanggung kerugian usaha nasabah yang dibiayai dalam pembiayaan berbasis bagi hasil. Resiko ini timbul apabila bank memberikan pembiayaan berbasis bagi hasil kepada nasabah di mana bank ikut menanggung resiko atas kerugian nasabah yang dibiayai (profit and loss sharing). Resiko investasi memiliki beberapa fitur berbeda:
1)      Sifat investasi ekuitas memerlukan pengawasan mendalam untuk mengurangi asimetri informasi;
2)      Mudhorobah dan musyarakah adalah perjanjian pembagian keuntungan dan kerugian serta menghadapi resiko hilangnya modal walau dengan pengawasan yang memadai. Tingkat resiko lebih tinggi dibandingkan investasi lain.
3)      Investasi ekuitas selain investasi pasar saham tidak memiliki pasar sekunder yang mengakibatkan besarnya biaya untuk keluar lebih awal. Tidak likuidnya investasi tersebut dapat menyebabkan kerugian pada bank (Rianto, 2013, p. 260).
Sebagai Contoh:
1)      Bank menderita kerugian atas fasilitas pembiayaan Mudhorobah yang disalurkan kepada suatu nasabah yang bergerak di bidang usaha tekstil;
2)      Bank menderita kerugian akibat nasabah yang bergerak di bidang usaha pertambangan batu bara mengalami penurunan omset penjualan dalam beberapa bulan terakhir (Indonesia, Ikatan Bangkir, 2014, p. 347).
Dengan demikian, bank syariah harus memiliki strategi, manajemen resiko dan proses laporan yang memadai sehubungan dengan karakteristik resiko investasi termasuk investasi mudhorobah dan musyarakah. Bank syariah harus memastikan metodologi valuasi yang tepat dan konsisten menilai potensi dampak dari metode perhitungan dan alokasi laba. Bank syariah harus menetapkan strategi keluar dalam kegiatan investasi modal mereka dengan persetujuan DPS (Rianto, 2013, p. 261).

B.     Proses Manajemen Resiko Perbankan Islam
1.      Model Manajemen Resiko
Setiap bank yang telah menerapkan manajemen risiko dengan baik biasanya memiliki kerangka kerja manajemen risiko (risk management framework). Kerangka kerja yang biasa digunakan adalah seperti gambar berikut:
Gambar.1
Kerangka Kerja Manajemen Resiko

Kerangka kerja manajemen risiko yang baik selalu dimulai dari pemberian mandat dan komitmen kepada salah satu unit dalam struktur organisasi bank. Dimana unit ini bertanggung jawab untuk memastikan penerapan manajemen risiko di bank Islam. Mandat komitmen tersebut biasanya tercantum secara jelas pada dokumen Risk Management Character (RMC) yang di dalamnya memuat filosofi penerapan manajemen risiko pada bank Islam, struktur organisasi manajemen risiko, wewenang, tanggung jawab, berbagai ketentuan teknis kordinasi manajemen risiko, dan proses evaluasi periodik terhadap praktik manajemen risiko di bank Islam. RMC mencerminkan komitmen bank Islam menerapkan praktik manajemen risiko yang baik. Komitmen tercantum secara eksplisit dalam sebuah dokumen legal yang dapat menjadi dasar praktik manajemen risiko yang komprehensif.
Kerangka kerja manajemen risiko pada gambar.1 mengikuti prinsip Plan-do-check-act (PDCA) yang dimulai dari penyusunan desain kerangka kerja manajemen risiko (plan), implementasi desain kerangka kerja manajemen risiko (do), monitoring, dan review secara berkala (check), dan perbaikan secara kontinu atas kerangka kerja manajemen risiko yang telah dijalankan (act). Sehingga dapat disimpulkan bahwa kerangka manajemen risiko merupakan proses yang berkelanjutan yang berjalan secara dinamis dan responsif terhadap berbagai perubahan-perubahan yang ada.
Dari kerangka kerja manajemen risiko yang telah disajikan diperoleh alur proses manajemen risiko yang di dalamnya mencakup semua tahapan yang harus dilakukan oleh bank.
Gambar.2
Alur Proses Manajemen Resiko
 




2.      Penetapan Risk Appetite
Salah satu cakupan penting dalam tahap penetapan konteks adalah ditetapkannya risk appetite bank terhadap risiko. Risk appetite adalah tingkat toleransi risiko dari manajemen bank dalam menciptakan nilai bagi pemilik bank. Karena risiko merupakan hal yang tidak terpisahkan dari bisnis perbankan maka manajemen perlu menyepakati seberapa besar sikap atau pandangan mereka terhadap tingkat risiko yang dapat diambil.
Risk appetite terdiri dari dua komponen utama, yaitu risk tolerance dan risk limit. Risk tolerance menunjukkan seberapa banyak cadangan modal yang secara kuantitatif dipersiapkan untuk mengantisipasi risiko. Risk limit adalah batas toleransi risiko yang diperkenankan untuk lebih granular, yaitu tingkat risiko yang dapat diterima pada level unit bisnis atau divisi. Risk tolerance menggambarkan tingkat risiko yang masih dapat diterima oleh bank secara keseluruhan karena dianggap potensi kerugian yang akan terjadi masih dapat diserap oleh cadangan modal yang dimiliki. Sedangkan risk limit merupakan panduan (guidance) bagi setiap unit bisnis yang ada pada struktur organisasi bank Islam untuk mengambil risiko pada setiap transaksi yang dilakukan.setiap transaksi yang masih berada di bawah risk limit akan tetap dilakukan, namun jika diatas risk limit, maka transaski tersebut sebaiknya ditinggalkan atau minimal perlu pertimbangan lebih mendalam untuk menerimanya.
Gambar.3
Ilustarsi Risk-return Trade Off
Expected
Return
A

C
B
x
x
x
Risk/Standard
Deviation
 









Jika bank islam menghadapi dua pilihan transaksi dengan profil risk-return seperti yang ditunjukan oleh titik A dan B, maka pilihan yang sangat rasional adalah memilih transaksi A ketimbang B. Karena dengan tingkat return yang sama, transaksi A memiliki risiko yang lebih rendah dibandingkan dengan transaksi B. demikian halnya jika bank islam menghadapi dua pilihan transaksi dengan profil risk return pada titik B dan C. secara rasional, bank islam seharusnya memilih transaksi C dengan tingkat resiko yang sama, transaksi C mampu menawarkan return lebih besar. Namun bagaimana jika bank islam dihadapkan pada dua pilihan transaksi dengan profil risk – return pada titik A dan C? Disinilah risk appetite menentukan pilihan mana yang dapat diambil oleh bank islam. Trasaksi A dan C merupakan dua pilihan yang seimbang karna keduanya memenuhi kaidah risk- return trade-off. Transaksi A memiliki resiko yang lebih rendah dibandingkan dengan transaksi C dan oleh karnanya, return yang ditawarkanpun lebih rendah. Bank islam dengan cadangan modal yang lebih tinggi bisa memilih pilihan C. namun pertimbanganya bukan semata-mata ia mampu menyerap kerugian yang mungkin ditimbulkan oleh transaksi C. transaksi tersebut dipilih karena bank mampu menyerap potensi kerugian yang akan terjadi dan transaksi tersebut menawarkan tingkat imbal hasil (return) yang sepadan dengan resikonya. Oleh karena itulah risk return merupakan dua hal yang selalu menjadi pertimbangan dalam memutuskan pilihan transaksi bisnis yang akan dilakukan. (Wahyudi, Dewi, Rosmanita, Prasetyo, Putri, & Haidir, 2013, pp. 60-64)

3.      Penilaian Resiko
Setelah dapat diindentifikasi, maka risiko-risiko tersebut harus dinilai untuk mengetahui tingkat keparahan kerugian yang akan diakibatkan dan tingkat kemungkinan keterjadian risiko tersebut. hasil dari penilaian risiko tersebut akan berguna untuk melakukan prioritasi risiko bank yang nantinya akan dimitigasi. Metodologi umum yang digunakan dalam penilaian risiko adalah composite risk index (CRI) yang dihitung dengan menggunakan formula berikut:
CRI = Dampak Kejadian Resiko X Probabilitas Keterjadian
 


Dampak kejadian risiko dinilai dengan skala 1-5, dimana 1 mewakili minimum dan 5 mewakili maksimum dampak kerugian yang mungkin terjadi atas suatu risiko (diukur dalam nilai mata uang). Probabilitas keterjadian juga dinilai yang sama, yakni skala 1-5, dimana 1 mewakili probabilitas keterjadian yang sangat rendah dan 5 mewakili probabilitas keterjadian yang sangat tinggi. CRI akan bernilai antara 1-25 dan dibagi menjadi 3 kelompok, yakni interval 1-8 (rendah), interval 9-16 (sedang), 17-25 (tinggi). Bisa juga digunakan 4 kelompok dengan menambahkan kategori sangat tinggi (katastrofe).

4.      Proses Review Resiko
Dalam proses manajemen risiko, terdapat proses evaluasi risko setelah analisis risiko dilakukan. Evaluasi risiko merupakan proses yang sangat penting karena akan menemukan langkah dan tindakan yang dapat diambil manajemen untuk mengelola risiko tersebut. tujuan dilakukannya evaluasi dan review adalah untuk membantu proses pengambilan keputusan, berdasarkan analisis yang didapatkan dari analisis risiko, untuk menentukan kebijakan terkait perlakuan terhadap risiko dan prioritas pengelolaan risiko yang harus dilakukan.
Pada tahap evaluasi dan review resiko, tingkat risiko actual yang terjadi pada bank islam dimonitor dan dibandingkan dengan berbagai ketentuan resiko yang telah ditetapkan sebelumnya, seperti risk tolerance level, risk limit, dan lain sebagainya. Ketidak cocokan yang terjadi antara kondisi actual dan kebijakan resiko bisa berarti dua hal. Pertama, terjadinya pelanggaran terhadap kebijakan manajemen resiko. Kedua, kebijakan resiko yang ditetapkan sudah out off date sehingga harus direvisi dan disesuaikan dengan perkembangan zaman. (Wahyudi, Dewi, Rosmanita, Prasetyo, Putri, & Haidir, 2013, p. 75)








BAB III
KESIMPULAN
1.      Bank syariah akan selalu berhadapan dengan berbagai dengan berbagai jenis resiko dengan kompleksitas beragam dan melekat pada kegiatan usahanya. Resiko dalam konteks perbankan merupakan suatu kejadian potensial, baik dapat diperkirakan (anticipated) maupun yang tidak dapat diperkirakan (unanticipated) yang berdampak negatif terhadap pendapatan dan permodalan bank
2.      Resiko adalah potensi kerugian akibat terjadinya suatu peristiwa (events) tertentu. Resiko dalam konteks perbankan merupakan suatu kejadian potensial, baik yang dapat diperkirakan (expected) maupun yang tidak dapat diperkirakan (unexpected) yang berdampak negatif terhadap pendapatan dan permodalan bank. Resiko juga dapat dianggap sebagai kendala dalam pencapaian suatu tujuan
3.      Pada masa dekade ini, industry perbankan Indonesia dihadapkan dengan risiko yang semakin kompleks akibat kegiatan usaha bank yang beragam mengalami perkembangan pesat sehingga mewajibkan bank untuk meningkatkan kebutuhan akan penerapan manajemen risiko untuk meminimalisasi risiko yang terkait dengan kegiatan usaha perbankan. Masa depan industri perbankan Syari’ah akan sangat bergantung pada kemampuannya untuk merespons perubahan dalam dunia keuangan.
4.      Manajemen resiko merupakan aktivitas yang utama dari suatu bank sebagai lembaga intermediasi yangbertujuan untuk mengoptimalkan trade off antara resiko dan pendapatan, serta membantu merencanakan dan pembiayaan pengembangan usaha secara tepat, efektif dan efisien.
5.      Sasaran kebijakan manajemen resiko adalah mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengendalikan jalannya kegiatan usaha bank dengan tingkat resiko yang wajar secara terarah, terintegrasi, dan berkesinambungan. Dengan demikian, manajemen resiko berfungsi sebagai filter atau pemberi peringatan dini (early warning system) terhadap kegiatan usaha bank
6.      Manajemen resiko pada perbankan syariah mempunyai karakter yang berbeda dengan bank konvensional, terutama karena adanya jenis-jenis resiko yang khas melekat hanya pada bank-ank yang beroperasi secara syariah. Dengan kata lain, perbedaan mendasar antara bank Islam dan bank konvensional bukan terletak bagaimana cara mengukur (how to measure), melainkan pada apa yang dinilai (what to measure)
7.      Penerapan Manajemen Resiko Bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah, terdapat 10 (sepuluh) resiko yang harus dikelola bank. Kesepuluh jenis resiko tersebut adalah resiko kredit, resiko pasar, resiko operasional, resiko likuiditas, resiko kepatuhan, resiko hukum, resiko reputasi, resiko strategis, resiko imbal hasil, dan resiko investasi
8.      Penerapan manajemen resiko dapat meningkatkan shareholder value, memberikan gambaran kepada pengelola bank mengenai kemungkinan kerugian bank di masa mendatang, meningkatkan metode dan proses pengambilan keputusan yang sistematis yang didasarkan atas ketersediaan informasi, yang digunakan sebagai dasar pengukuran yang lebih akurat mengenai kinerja bank, serta menciptakan infrastruktur manajemen resiko yang kokoh dalam rangka meningkatkan daya saing bank.
9.      Penerapan manajemen resiko di bank syariah wajib disesuaikan dengan tujuan, kebijakan usaha, ukuran, dan kompleksitas usaha serta kemampuan bank. Kompleksitas usaha adalah keragaman dalam jenis transaksi produk/jasa jaringan usaha. Sementara itu, kemampuan bank meliputi kemampuan keuangan, infrastruktur pendukung, dan kemampuan sumber daya insani.
10.  Penerapan manajemen resiko paling kurang memuat: Penerapan manajemen resiko secara umum; Penerapan manajemen resiko untuk masing-masing resiko, mencakup 8 resiko, yaitu resiko kredit, resiko pasar, resiko likuiditas, resiko operasional, resiko hukum, resiko strategis, resiko kepatuhan, dan resiko reputasi. Penilaian profil resiko. Kualitas penerapan manajemen resiko meliputi: Tata kelola resiko Kerangka manajemen resiko Kecukupan proses manajemen resiko dan Sistem pengendalian internal yang menyeluruh.








DAFTAR KEPUSTAKAAN

Ahmed, K. a. (2001). Risk Management:An Analysis of Issues in Islamic Financial Industry. Jeddah: Islamic Development Bank (IRTI) .
Arifin, Z. (2009). Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah. Jakarta: Azkia Publisher.
Djohanoputro, Bramanto. (2006). Manajemen Resiko Terintegrasi. Jakarta: Penerbit PPM.
Emira, d. (2013). Comparative Analysis Of Risk Management In Conventional And Islamic Bank. International Buseness Research , 6, No.5.
Fahmi, I. (2011). Manajemen Resiko, Teori, Kasus dan Solusi. Bandung: Alfabeta.
Herujito, Y. M. (2001). Dasar-Dasar MAnajemen. Jakarata: PT. Grasido.
Indonesia, Departemen Pendidikan. (2005). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Indonesia, Ikatan Bangkir. (2014). Memahami Bisnis Syariah. Jakarata: Gramedia Pusat.
Karim, A. (2013). Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Mustikawati, d. (2013). Penerapan Manajemen Resiko Untuk Meminimalisir Resiko Kredit Macet. Jurnal Administrasi Bisnis .
Rahmani, Y. (2009). Manajemen Resiko Perbankan Syariah. Jurnal La Riba , 3 No 2.
Rianto, R. B. (2013). Manajemen Resiko Perbankan Syariah Di Indonesia. Jakarta: Salemba Empat.
Romdhoni, A. H. (2012). Analisis Pembiayaan Mudhorobah Di Bank Syariah Surakarta. Yogyakarta: TESIS UIN Sunan Kalijaga.
Saputra, A. (2012). Manajemen Resiko Pembiayaan Mudhorobah. Yogyakarta: TESIS UIN Sunan Kalijaga.
Sari, L. K. (2014). Penerapan Manajemen Resiko Pada Perbankan Syariah Di Indonesia. E Journal Unesa .
Veitzal, R., & Arivin, A. (2010). Islamic Banking: Sebuah Teori, Konsep Dan Aplikasi. Jakarta: Bumi Aksara.
Wahyudi, I., Dewi, M. K., Rosmanita, F., Prasetyo, M. B., Putri, N. I., & Haidir, B. M. (2013). Manajemen Risiko Bank Islam. Jakarta: Salemba Empat.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar