BAB I
PENDAHULUAN
Ada ungkapan menarik, “bank adalah
mesin resiko: mereka mengambil resiko, mentransformasi, dan kemudian
melekatkannya pada produk dan jasa yang diberikannya”.Jauh sebelum itu, islam
telah mendefenisikan konsep resiko dan usaha dengan sangat bagus sekali. Dalam
suatu hadis disebutkan, “ al ghunmu bil ghurmi” artinya keuntungan
melekat padanya resiko (Wahyudi,
Dewi, Rosmanita, Prasetyo, Putri, & Haidir, 2013, p. 81) .
Bank syariah
akan selalu berhadapan dengan berbagai dengan berbagai jenis resiko dengan kompleksitas
beragam dan melekat pada kegiatan usahanya. Resiko dalam konteks perbankan
merupakan suatu kejadian potensial, baik dapat diperkirakan (anticipated) maupun
yang tidak dapat diperkirakan (unanticipated) yang berdampak negatif
terhadap pendapatan dan permodalan bank (Karim, 2013, p. 255) .
Situasi
eksternal dan internal perbankan mengalmi perkembangan pesat yang diikuti
dengan semakin kompleksnya resiko kegiatan usaha perbankan sehingga diperlukan penerapan
manajemen resiko yang matang. Penerapan manajemen resiko akan memberikan
manfaat baik kepada perbankan maupun otoritas pengawasan perbankan. Manajemen resiko
dibutuhkan untuk
mengidentifikasi, mengukur, dan mengendalikan berbagai macam resiko. (Veitzal &
Arivin, 2010, p. 941)
Krisis
finansial dunia yang terjadi mulai 2008, dan berlanjut hingga saat ini, semakin
menegaskan perlunya penerapan manajemen resiko secara konsisten. Dibandingkan
dengan krisis finansial 1998, dalam menghadapi krisis tahun 2008 perbankan
Indonesia sudah lebih siap (Indonesia,
Ikatan Bangkir, 2014, p. 339) . Mekanisme yang
terdapat pada perbankan syariah, tidak dapat terlepas pada resiko dalam
menjalankan roda usahanya (Saputra,
2012, p. 2) .
Oleh karena itu, bank syariah harus dapat mengidentifikasi setiap resiko yang
sedang dihadapi (Romdhoni,
2012, p. 3) .
Pembahasan paper berikut akan membahas lebih mendalam tentang implementasi
manajemen resiko perbankan syariah di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Manajemen Resiko Perbankan
1.
Pengertian Perbankan dan Manajemen Resiko
Istilah
perbankan sudah tidak asing lagi bagi masyarakat umumnya bagi yang sudah pernah
menggunakan jasa perbankan. Istilah perbankan berasal dari kata “bank” yaitu
badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan
mengeluarkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit.
Atau bank adalah suatu badan usaha yang tugas
utamanya sebagai lembaga perantara keuangan (financial intermediaries),
yang menyalurkan dana dari pihak yang kelebihan dana (surplus) kepihak
yang kekurangan dana (deficit) pada waktu yang ditentukan. Jadi
perbankan adalah lembaga yang berfungsi sebagai lembaga intermediasi antara
pihak yang surplus dana dengan deficit dana.
Sedangkan
istilah manajemen berasal dari kata to manage berarti control.
Dalam Bahasa Indonesia, dapat diartikan mengendalikan, menangani, atau
mengelola (Herujito,
2001, p. 1) .
Selain itu, kata manajamen dalam kamus Besar Bahasa
Indonesia berarti penggunaan sumber daya secara efektif untuk mencapai sasaran (Indonesia,
Departemen Pendidikan, 2005, p. 708) . Dalam bahasa yang
sederhana efisiensi itu menunjukkan kemampuan organisasi dalam menggunakan
sumber daya dengan benar dan tidak ada pemborosan. Setiap perusahaan akan
berusaha mencapai tingkat output dan input seoptimal mungkin.
Kemudian istilah risiko menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia adalah akibat yang kurang menyenangkan (merugikan,
membahayakan) dari suatu perbuatan atau tindakan (Indonesia, Departemen Pendidikan,
2005, p. 959) .
Risiko sering dikatakan sebagai uncertainty atau ketidakpastian.
Ketidakpastian sering diartikan dengan keadaan dimana ada beberapa kemungkinan
kejadian dan setiap kejadian akan menyebabkan hasil yang berbeda. Tetapi,
tingkat kemungkinan atau probabilitas kejadian itu sendiri tidak diketahui
secara kuantitatif. Sedangkan pengertian dasar risiko terkait dengan adanya
ketiakpastiannya terukur secara kuantitatif (Djohanoputro,
Bramanto, 2006, p. 16) .
Sering kali resiko muncul karena adanya
lebih dari satu pilihan dan dampak dari tiap pilihan tersebut belum dapat
diketahui dengan pasti, sebagaimana tidak pastinya masa depan. Selalu ada Opportunity
cost yang membuntuti setiap pilihan yang diambil. Dengan demikian resiko
bisa didefinisikan sebagai konsekuensi atas pilihan yang mengandung ketidak
pastian yang berpotensi mengakibatkan hasil yang tidak diharapkan atau dampak
negative lainya yang merugikan bagi pengambil keputusan. Inilah defenisi klasik
dari risiko. Dari defenisi tersebut, risiko mengandung beberapa dimensi, yakni
biaya peluang, potensi kerugian atau dampak negative lainya, ketidak pastian
dan diperolehnya hasil yang tidak sesuai harapan. Dengan berbagai dimensi
inilah risiko diukur, dimitigasi, dan dimonitoring selama proses bisnis
berjalan (Wahyudi,
Dewi, Rosmanita, Prasetyo, Putri, & Haidir, 2013, p. 4) .
Manajemen risiko adalah suatu bidang
ilmu yang membahas tentang bagaimana suatu organisasi menerapkan ukuran dalam
memetakan berbagai permasalahan yang ada dengan menempatkan berbagai pendekatan
manajemen secara komprehensif dan sistematis (Fahmi, 2011,
p. 2) .
Dari berbagai definisi tersebut dapat kita simpulkan bahwa esensi menajamen
risiko adalah kecukupan prosedur dan metodologi pengelolaan risiko sehingga
usaha bank tetap dapat terkendali pada batas atau limit yang dapat diterima
serta menguntungkan bank.
2.
Urgensi Manajemen Resiko Pada Perbankan Syariah
Pada masa
dekade ini, industry perbankan Indonesia dihadapkan dengan risiko yang semakin
kompleks akibat kegiatan usaha bank yang beragam mengalami perkembangan pesat
sehingga mewajibkan bank untuk meningkatkan kebutuhan akan penerapan manajemen
risiko untuk meminimalisasi risiko yang terkait dengan kegiatan usaha perbankan (Sari, 2014,
pp. 1-17) .
Masa depan
industri perbankan Syari’ah akan sangat bergantung pada kemampuannya untuk
merespons perubahan dalam dunia keuangan. Fenomena globalisasi dan revolusi teknologi
informasi, menjadikan ruang lingkup perbankan Syari’ah sebagai lembaga keuangan
telah melampaui batas perundang-undangan suatu negara. Implikasinya adalah,
sektor keuanganpun menjadi semakin dinamis, kompetitif dan kompleks. Terlebih
lagi adanya tren pertumbuhan merger lintas segmen, akuisisi, dan konsolidasi keuangan,
yang membaurkan risiko unik tiap segmen dari industry keuangan tersebut (Rahmani,
2009, pp. 151-165)
Para pelaku
usaha perbankan (bankir) menyadari bahwa dalam menjalankan fungsi
jasa-jasa keuangan bank berada pada bisnis berisiko. Risiko dalam perbankan
yaitu suatu kondisi yang sulit bagi sebuah bank yang nampak dalam bidang
keuangan maupun dalam bidang lainnya. Bank saat ini harus menerapkan manajemen risiko.
Bank harus menerima dan mengelola berbagai jenis risiko keuangan secara
efektif, agar dampak negatif tidak terjadi untuk meminimalisir kerugian dari
akibat tidak dijalankannya manajemen risiko yang efektif dan disiplin. (Mustikawati,
2013, pp. 1-7)
Dalam rangka
meminimalisasi resiko yang dapat menimbulkan kerugian bagi bank, maka bank
harus menerapkan manajemen resiko, yaitu serangkaian prosedur dan metodologi yang
digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengendalikan resiko yang timbul dari kegiatan usaha bank (Arifin, 2009,
p. 272) .
Manajemen resiko merupakan aktivitas yang utama dari suatu bank sebagai lembaga
intermediasi yang bertujuan untuk mengoptimalkan trade off antara resiko
dan pendapatan, serta membantu merencanakan dan pembiayaan pengembangan usaha
secara tepat, efektif dan efisien. Setiap lembaga keuangan, termasuk bank harus
dapat mengidentifikasi dan mengontrol resiko yang melekat dalam kegiatan
pengelolaan dana simpanan, portofolio aktiva produktif, dan kontrak off
balance sheet (Veitzal & Arivin, 2010, p.
943) .
Pada perbankan
syariah, sistem manajemen risiko di bank-bank meliputi beberapa tahap
berturut-turut sebagai berikut (Emira, 2013,
pp. 180-193) :
a.
Identifikasi risiko
b.
Risiko dan kuantifikasi modal
c.
Mengumpulkan atau pengelompokan risiko yang sama
d.
Kontrol sebelumnya
e.
Pemantauan risiko
Sasaran kebijakan manajemen resiko adalah mengidentifikasi,
mengukur, memantau, dan mengendalikan jalannya kegiatan usaha bank dengan
tingkat resiko yang wajar secara terarah, terintegrasi, dan berkesinambungan.
Dengan demikian, manajemen resiko berfungsi sebagai filter atau pemberi
peringatan dini (early warning system) terhadap kegiatan usaha bank (Karim, 2013,
p. 255) .
Meskipun unsur pokok dari manajemen resiko meliputi identifikasi, mengukur,
memonitor, dan mengelola berbagai eksposur resiko. Namun, semua hal tersebut
tidak akan dapat diimplementasikan tanpa disertai dengan proses dan sistem yang
jelas. Keseluruhan proses manajemen resiko harus meliputi seluruh departemen
atau divisi kerja dalam lembaga sehingga tercipta budaya manajemen resiko (Ahmed, 2001,
p. 30) .
Mengingat perbedaan kondisi pasar, struktur, ukuran, serta kompleksitas usaha
bank, maka tidak ada satu sistem manajemen resiko yang universal untuk seluruh
bank. Dengan demikian, setiap bank harus membangun sistem manajemen resiko
sesuai dengan fungsi dan kompleksitas bank, dan menyediakan system organisasi
manajemen resiko pada bank sesuai dengan kebutuhan Agar mencapai petumbuhan
bisnis yang berkelanjutan (sustainable business growth) (Indonesia, Ikatan Bangkir, 2014, p. 342) .
3.
Jenis Jenis Resiko Pada Perbankan Syariah
Berdasarkan
PBI Nomor 13/23/PBI/2011 tentang penetapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum
Syariah dan Unit Usaha Syariah. Terdapat sepuluh jenis risiko yang dihadapi
bank islam, yaitu : risiko kredit, risiko likuiditas, risiko operasional,
risiko hokum, risiko reputasi, risiko strategis, risiko kepatuhan, risiko imbal
hasil, dan risiko investasi. Delapan risiko pertama merupakan risiko umum yang
juga dihadapi oleh bank konvensional. Sedangkan dua terakhir merupakan risiko
unik yang khusus dihadapi oleh bank islam. Penambahan dua risiko ini sejalan
dengan platform manajemen risiko yang dikeluarkan oleh IFSB (Wahyudi,
Dewi, Rosmanita, Prasetyo, Putri, & Haidir, 2013, p. 25) . Berikut Resiko yang
dihadapi oleh bank islam di Indonesia:
Tabel
Jenis-jenis Resiko Perbankan Syariah
No
|
Jenis
Resiko
|
Uraian
|
1
|
Resiko
Kredit
|
Resiko yang disebabkan oleh adanya kegagalan counterparty dalam
memenuhi kewajibannya. Dalam bank syariah, resiko pembiayaan mencakup resiko
produk dan resiko terkait pembiayaan koperasi.
|
2
|
Resiko
Pasar
|
Resiko kerugian yang terjadi pada portofolio yang dimiliki oleh bank
akibat adanya pergerakan variabel pasar (Adverse ovement) berupa nilai
tukar dan suku bunga
|
3
|
Resiko
Likuiditas
|
Resiko yang antara lain disebabkan oleh ketidakmampuan bank untuk
memenuhi kewajibannya pada saat jatuh tempo
|
4
|
Resiko
Operasional
|
Resiko yang antara lain disebabkan oleh ketidak cukupan atau tidak
berfungsinya proses internal, human error, kegagalan system atau yang
mempengaruhi operasional bank.
|
5
|
Resiko
Hukum
|
Resiko yang disebabkan oleh adanya kelemahan aspek yuridis, seperti:
adanya tuntutan hukum, ketiadaan peraturan perundang undangan yang mendukung
atau kelemahan perjanjian seperti tidak terpenuhinya syarat keabsahan suatu
kontrak atau pengikatan agunan yang tidak sempurna.
|
6
|
Resiko
Reputasi
|
Resiko yang antara lain disebabkan oleh adanya publikasi negative
yang terkait dengan kegiatan bank atau adanya persepsi negative terhadap
bank.
|
7
|
Resiko
Strategis
|
Resiko yang antara lain disebabkan oleh adanya penerapan dan pelaksanaan
strategi bank yang tidak tepat, pengambilan keputusan bisnis yang tidak tepat
atau bank tidak mematuhi/ tidak melaksanakan perubahan perundang-undangan dan
ketentuan lain yang berlaku. Pengelolaan resiko strategis dilakukan melalui
penerapan sistem pengendalian internal secara konsisten
|
8
|
Resiko
Kepatuhan
|
Resiko yang disebabkan oleh tidak dipatuhinya ketentuan-ketentuan
yang ada, baik ketentuan internal maupun eksternal.
|
9
|
Resiko
Imbal Hasil
|
Resiko akibat perubahan tingkat imbal hasil yang dibayarkan kepada
nasabah karena terjadi perubahan tingkat imbal hasil yang diterima bank dari
penyaluran dana, yang dapat memengaruhi perilaku nasabah dana pihak ketiga
bank
|
10
|
Resiko
Investasi
|
Resiko akibat bank ikut menanggung kerugian usaha nasabah yang
dibiayai dalam pembiayaan berbasis bagi hasil.
|
a.
Manajemen
Risiko Pembiayaan
Penyebab utama terjadinya resiko kredit adalah terlalu mudahnya bank
memberikan pinjaman atau melakukan investasi karena terlalu dituntut untuk memanfaatkan
kelebihan likuiditas, sehingga penilaian kredit kurang cermat dalam
mengantisipasi berbagai kemungkinan resiko usaha yang dibiayai (Arifin, 2009,
p. 263) .
Contoh: Nasabah A mengambil KPR dari Bank B dengan skema Murabahah
berjangka waktu 25 (dua puluh lima) tahun. Pada tahun pertama sampai tahun
keempat, Nasabah tersebut masih lancar dalam mebayar angsuran. Pada tahun
keenam, Nasabah di PHK dari perusahaannya. Atas kejadian itu, Bank B berpotensi
menghadapi resiko kredit karena Nasabag tidak memiliki pendapatan lagi untuk membayar
angsuran rumah yang sudah dinikmatinya (Indonesia,
Ikatan Bangkir, 2014, p. 243) .
Tabel
Penyebab Kredit Gagal
No
|
Faktor Internal
|
Faktor Eksternal
|
1
|
Adanya Self Dealing atau tindak kecurangan dari aparat pengelola
kredit
|
Kegiatan perekonomian makro/ kebijakan pemerintah yang diluar jangkauan
bank untuk diperkirakan
|
2
|
Minimnya pengetahuan para pengelola kredit
|
Adanya bencana alam dan kejadian diluar dugaan
|
3
|
Kurang baiknya manajemen sistem informasi yang dibangun pada bank
yang bersangkutan
|
Adanya tekanan dari berbagai kekuatan politik di luar bank sehingga
menimbulkan kompromi terhadap prinsip-prinsip kredit yang sehat.
|
4
|
Tidak adanya kebijakan yang baik pada bank yang bersangkutan
|
Adanya kesulitan/kegagalan dalam proses likuidasi dan perjanjian
kredit yang telah disepakati
|
5
|
Lemahnya organisasi dan manajemen dari bank yang bersangkutan
|
Adanya persaingan cukup tajam diantara perbankan dalam hal perkreditan
|
Resiko tersebut dapat ditekan dengan cara memberi batas wewenang
keputusan kredit bagi setiap perkreditan, berdasarkan kapabilitasnya (autorize
limit) dan batas jumlah kredit yang dapat diberikan pada usaha atau perusahaan
tertentu (credit line limit), serta melakukan diversifikasi (Arifin, 2013:
263). Untuk meminimalkan kemungkinan terjadinya kerugian pembiayaan, diperlukan
teknik sebagai berikut (Rianto, 2013,
p. 109) :
1)
Model pemeringkatan untuk pembiayaan perorangan
2)
Manajemen portofolio pembiayaan
3)
Agunan
4)
Pengawasan arus kas
5)
Manajemen pemulihan
6)
Asuransi
b.
Manajemen Risiko Pasar
Resiko kerugian yang terjadi pada portofolio yang dimiliki oleh bank
akibat adanya pergerakan variabel pasar (Adverse movement) berupa nilai
tukar dan suku bunga. Sebagai contoh:
1)
Bank membeli sukuk negara dengan kupon tetap, di mana harga pasar
obligasi akan turun apabila imbal hasil pasar meningkat;
2)
Bank membeli USD dengan nilai dalam valuta rupiah akan menurun
apabila nilai tukar USD melemah;
3)
Bank melakukan aktivitas trading atau jual beli surat berharga (Indonesia,
Ikatan Bangkir, 2014, p. 344) .
Resiko nilai tukar valuta asing dapat ditekan dengan cara membatasi
atau memperkecil posisi, atau bahkan dapat dihindari sama sekali bila bank
selalu mengambil posisi squaire. Sedangkan resiko suku bunga dalam
perbankan syariah tidak akan berpengaruh, karena perbankan syariah tidak
berurusan dengan suku bunga (Arifin, 2009,
p. 264) .
Bank syariah harus membentuk proses manajemen resiko pasar dan
sistem informasi yang sehat dan komprehensif yang berisikan antara lain sebagai
berikut (Rianto, 2013,
p. 139) :
1)
Kerangka konseptual untuk mendorong identifikasi resiko pasar yang
mendasarinya;
2)
Pedoman untuk pengelolaan aktivitas pengambilan resiko pada
portofolio yang berbeda pada investasi terbatas dan limit resiko pasarnya;
3)
Kerangka penentuan harga tepat, penilaian dan pengakuan pendapatan;
4)
Sistem informasi manajemen (SIM) yang kuat untuk pengendalian,
pemantauan, dan pelaporan eksposur resiko pasar dan kinerja manajemen senior.
c.
Manajemen Risiko Likuiditas
Resiko yang antara lain disebabkan oleh ketidakmampuan bank untuk
memenuhi kewajibannya pada saat jatuh tempo Contoh: Sebuah bank banyak
memberikan kredit jangka panjang kepada debiturnya dengan sumber dana yang
didominasi deposito lembaga 1 (satu) tahun. Dengan struktur neraca missmatch
maturity seperti itu, bank tersebut berpotensi menghadapi resiko likuiditas
(Ikatan Bankir Indonesia: 345). Beberapa faktor yang menyebabkan bank syariah
juga menghadapi resiko likuiditas, antara lain;
1)
Turunnya kepercayaan nasabah terhadap sistem perbankan, khususnya
perbankan syariah;
2)
Kebergantungan pada sekelompok deposan;
3)
Keterbatasan instrumen keuangan untuk solusi likuiditas;
4)
Mismatching antara
dana jangka pendek dengan pembiayaan jangka panjang;
5)
Bagi hasil antar bank kurang menarik karena financial settlementnya
harus menunggu selesai perhitungan cash basis pendapatan bank yang
biasanya baru terlaksana pada akhir bulan.
6)
Di dalam kontrak mudhorobah, memungkinkan nasabah untuk
menarik dananya kapan saja tanpa pemberitahuan lebih dahulu (Rianto, 2013:
248).
Likuiditas yang tersedia harus cukup, tidak boleh terlalu kecil
sehingga mengganggu kebutuhan operasional sehari-hari, tapi juga tidak boleh
terlalu besar karena akan menurunkan efisiensi dan berdampak rendahnya tingkat profitabilitas.
Dalam rangka melaksanakan fungsi pengendalian resiko likuiditas bank harus menerapkan
fungsi assets and liability management (ALMA) (Arifin, 2009, p. 245) .
Tujuan dari manajemen resiko likuiditas adalah memelihara kecukupan
likuiditas bank sehingga setiap waktu mampu memenuhi kewajiban bank yang jatuh
tempo, menjaga tingkat kepercayaan nasabah terhadap sistem perbankan, menjaga
kecukupan likuiditas bank untuk mendukung aset bank berkelanjutan (Rianto, 2013,
p. 250) .
d.
Manajemen Risiko Operasional
Resiko operasional merupakan resiko yang disebabkan oleh
ketidakcukupan atau tidak berfungsinya proses internal, human error,
kegagalan sistem atau yang mempengaruhi operasional bank. Sebagai contoh:
1)
Pemalsuan bilyet deposito oleh karyawan bank yang kemudian
dijadikan agunan pembiayaan;
2)
Kesalahan postingan uang masuh karena pegawai yang ditunjuk kurang
berpengalaman;
3)
Terjadi bencana alam berupa banjir besar sehingga bank tidak dapat
beroperasi secara normal;
4)
Kejahatan keuangan seperti fraud yang sering dilakukan oleh pihak
luar yang bekerja sama dengan pegawai bank (Indonesia,
Ikatan Bangkir, 2014, p. 345) .
Ada tiga faktor yang menjadi penyebab utama timbulnya resiko ini,
yaitu: Infrastruktur seperti teknologi, kebijakan, lingkunan, pengamanan,
perselisihan, dan sebagainya; Proses; danSumber daya (Karim, 2013, p. 275) .
e.
Manajemen Risiko Hukum
Resiko yang disebabkan oleh adanya kelemahan aspek yuridis, seperti:
adanya tuntutan hukum, ketiadaan peraturan perundangundangan yang mendukung
atau kelemahan perjanjian seperti tidak terpenuhinya syarat keabsahan suatu kontrak
atau pengikatan agunan yang tidak sempurna (Rianto, 2013,
p. 213) .
Sebagai Contoh: Bank H tidak melakukan legal meeting dengan
baik ketika memberikan kredit modal kerja kepada PT A, terutama verifikasi atas
pengesahan Kementrian Hukum dan HAM atas perubahan Anggaran Dasar PT A. Di kemudian
hari, ternyata pengurus PT A telah memalsukan pengesahan Anggaran Dasar PT A.
Perbuatan pengurus PT A tersebut telah menyebabkan Bank H berpotensi mengalami
resiko hukum (Indonesia,
Ikatan Bangkir, 2014, p. 345) .
Tujuan utama manajemen resiko hukum adalah memastikan proses
manajemen resiko dapat meminimalkan kemungkinan dampak negatif dari kelemahan aspek
yuridis, ketiadaan, dan/atau perubahan peraturan perundangundangan. Dalam
kaitan dengan resiko hukum ini, hal-hal yang perlu diperhatikan adalah:
1)
Keharusan memiliki kebijakanndan prosedur secara tertulis;
2)
Keharusan melaksanakan prosedur analisis aspek hokum terhadap
produk dan aktivitas baru;
3)
Keharusan memiliki satuan kerja yang berfungsi sebagai ‘legal wacth”,
tidak saja terhadap hokum positif tetapi juga terhadap fatwa DSN dan
ketentuan-ketentuan lain.
4)
Keharusan menilai dampak perubahan ketentuan/ peraturan terhadap
resiko hukum;
5)
Keharusan untuk menerapkan sanksi secara konsisten;
6)
Keharusan untuk melakukan kajian secara berkala terhadap akad,
kontrak, dan perjanjianperjanjian bank dengan pihak lain dalam hal efektifitas
dan enforceability (Karim, 2013,
p. 278) .
f.
Manajemen Risiko Reputasi
Resiko reputasi disebabkan oleh adanya publikasi negatif yang terkait
dengan kegiatan bank atauadanya persepsi negatif terhadap bank. Contoh: Mesin
ATM Bank A sering mengalami “off- line” sehingga membuat kecewa
nasabahnya setiap kali melakukan transaksi pada mesin ATM Bank A. Nasabah melampiaskan
rasa kekecewaannya melalui kontak pembaca di Harian Nasional. Atas pemberitaan
itu maka nasabah tersebut telah mengakibatkan Bank A berpotensi menghadapi
resiko reputasi (Ikatan Bankir Indonesia: 346). Hal-hal yang sangat berpengaruh
terhadap reputasi adalah: a) Manajemen; b) Pemegang saham; c) Pelayanan yang disediakan;
d) Penerapan prinsip-prinsip syariah; e) Publikasi (Karim, 2013, p. 275) .
Kegagalan manajemen resiko reputasi dapat menimbulkan penarikan
besar-besaran dana pihak ketiga, menimbulkan masalah likuiditas, ditutupnya
bank oleh otoritas, dan bahkan bisa mengalami kebangkrutan. Oleh karena itu, tujuan
utama manajemen resiko reputasi adalah untuk mengantisipasi dan meminimalkan dampak
kerugian dari resiko reputasi bank syariah. Resiko reputasi dalam bisnis dapat bersumber
dari berbagai aktivitas bisnis bank syariah (Rianto, 2013,
p. 245) .
Apabila manajemen dalam pandangan stakeholder dinilai baik maka
resiko reputasi menjadi rendah, demikian juga bila perusahaan dimiliki oleh
pemegang saham yang kuat maka resiko reputasi rendah. Dalam hal pelayanan, bila
pelayanan kurang baik maka resiko reputasi menjadi tinggi. Dalam penerapan
prinsip prinsip syariah haruslah dilaksanakan secara konsisten agar tidak
menimbulkan penilaian negative terhadap penerapan sistem syariah tersebut yang
dapat mengakibatkan timbulnya publikasi negatif sehingga akan menaikkan tingkat
resiko reputasi (Karim, 2013,
p. 275) .
g.
Manajemen Risiko Strategis
Resiko yang antara lain disebabkan oleh adanya penerapan dan
pelaksanaan strategi bank yang tidak tepat, pengambilan keputusan bisnis yang tidak
tepat atau bank tidak mematuhi/ tidak melaksanakan perubahan perundang-undangan
dan ketentuan lain yang berlaku. Pengelolaan resiko kepatuhan dilakukan melalui
penerapan system pengendalian internal secara konsisten. Indikasi dalam resiko strategi
ini dapat dilihat dari kegagalan dalam mencapai target bisnis yang telah
ditetapkan, baik target keuangan maupun nonkeuangan (Karim, 2013, p. 277) .
Resiko strategis dapat bersumber antara lain dari kelemahan dalam
proses formulasistrategi dan ketidaktepatan dalam perumusan strategi, sistem
informasi manajemen (SIM) yang kurang memadai, hasil analisis lingkungan internal
dan ekstrenal yang kurang memadai, penetapan tujuan strategis yang terlalu
agresif, ketidaktepatan dalam implementasi strategi, dan kegagalan
mengantisipasi perubahan lingkungan bisnis (Rianto, 2013, p. 223) .
Contoh: Pada Rencana Bisnis Bank A tercantum rencana launching layanan
internet banking dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada nasabahnya.
Namun, layanan tersebut tidak diikuti peningkatan kapasitas core banking
system sehingga sering terjadi kegagalan transaksi pada internet
bankingnya. Atas ketidaksiapan infrastruktur Bank A, maka Bank A rentan
terhadap resiko strategis (Indonesia,
Ikatan Bangkir, 2014, p. 346) .
Kegagalan manajemen resiko strategis dapat menimbulkan penarikan
besar-besaran dana pihak ketiga, menimbulkan masalah likuiditas, ditutupnya
bank oleh otoritas, dan bahkan bisa mengalami kebangkrutan. Oleh karena itu, tujuan
utama manajemen resiko strategis adalah untuk memastikan bahwa proses manajemen
resiko dapat meminimalkan kemungkinan dampak negatif dari ketidaktepatan pengambilan
keputusan strategis dan kegagalan dalam mengantisipasi perubahan lingkungan
bisnis (Rianto, 2013,
p. 223) .
h.
Manajemen Risiko Kepatuhan
Resiko yang disebabkan oleh tidak dipatuhinya ketentuanketentuan ketentuanketentuan
yang ada, baik ketentuan internal maupun eksternal, seperti berikut:
1)
Kententuan Giro Wajib Minimum, Net Open Position, Non Performing
Financing, dan Batas Maksimum Pemberian Pembiayaan;
2)
Ketentuan dalam penyediaan produk;
3)
Ketentuan dalam pemberian pembiayaan;
4)
Ketentuan dalam pelaporan baik laporan internal, laporan kepada
Bank Indonesia maupun laporan kepada pihak ketiga lainnya;
5)
Ketentuan perpajakan;
6)
Ketentuan dalam akad kontrak;
7)
Fatwa Dewan Syariah Nasional (Karim, 2013: 276).
Resiko kepatuhan dapat bersumber antara lain dari perilaku setidaknya
aktivitas bank yang menyimpang atau melanggar dari ketentuan atau peraturan perundang-udangan (Rianto, 2013,
p. 233) .
Contoh: Petugas sebuah bank terlambat dalam menyampaikan laporan Sistem
Informasi Debitur (SID) kepada Bank Indonesia. Atas keterlambatan pelaporan
itu, bank tersebut akan dikenakan denda oleh Bank Indonesia. petugas tersebut telah
membawa banknya sendiri menghadapi resiko kepatuhan (Indonesia, Ikatan Bangkir, 2014,
p. 345) .
Kegagalan manajemen resiko kepatuhan dapat menimbulkan penarikan
besar-besaran dana pihak ketiga, menimbulkan masalah likuiditas, ditutupnya
bank oleh otoritas, dan bahkan bisa mengalami kebangkrutan. Oleh karena itu, tujuan
utama manajemen resiko untuk resiko kepatuhan adalah untuk memastikan bahwa
proses manajemen resiko dapat meminimalkan kemungkinan dampak negatif dari
perilaku bank syariah yang melanggar standar yang berlaku secara umum,
ketentuan, dan/atau peraturan perundangundangan yang berlaku (Rianto, 2013, p. 233) .
i.
Manajemen Risiko Imbal Hasil
Resiko akibat perubahan tingkat imbal hasil yang dibayarkan kepada
nasabah karena terjadi perubahan tingkat imbal hasil yang diterima bank dari
penyaluran dana, yang dapat memengaruhi perilaku nasabah dana pihak ketiga bank
yang disebabkan oleh perubahan ekspektasi tingkat imbal hasil yang diterima
dari bank syariah. Perubahan ekspektasi bisa disebabkan oleh faktor internal seperti
menurunnya nilai aset bank atau faktor eksternal seperti naiknya return yang
ditawarkan bank lain (Rianto, 2013, p. 275) . Sebagai Contoh:
1)
Bank memberikan imbal hasil dana yang lebih kecil dibandingkan
dengan bulan lalu akibat beberapa debiturnya mengalami penurunan kualitas pembiayaan;
2)
Bank mengambil kebijakan untuk meningkatkan tingakt imbal hasil dana
guna mempertahankan nasabah deposan besar yang berpotensi kepada bank lain (Indonesia,
Ikatan Bangkir, 2014, p. 346) .
3)
Bank Syariah mengharapkan hasil 7% dari asetnya yang nantinya akan
dibagikan kepada investor, pada saat yang sama BI rate naik menjadi 8%.
Dalam manajemen resiko imbal hasil, bank syariah harus memiliki
sistem yang tepat untuk identifikasi dan pengukuran faktor yang bisa
meningkatkan resiko imbal hasil tersebut. Bank syariah harus menggunakan teknik
neraca untuk menimilisir eksposur menggunakan beberapa strategi berikut:
1)
Menentukan rasio laba pada masa depan dibandingkan dengan ekspektasi
kondisi pasar;
2)
Mengembangkan instrumen baru yang sesuai syariah;
3)
Menerbitkan sekuritisasi tranches yang sesuai dengan aset
yang diizinkan dalam ketentuan syariah (Rianto, 2013, p. 257) .
j.
Manajemen Risiko Investasi
Resiko Investasi adalah resiko akibat bank ikut menanggung kerugian
usaha nasabah yang dibiayai dalam pembiayaan berbasis bagi hasil. Resiko
ini timbul apabila bank memberikan pembiayaan berbasis bagi hasil kepada
nasabah di mana bank ikut menanggung resiko atas kerugian nasabah yang dibiayai
(profit and loss sharing). Resiko investasi memiliki beberapa fitur berbeda:
1)
Sifat investasi ekuitas memerlukan pengawasan mendalam untuk
mengurangi asimetri informasi;
2)
Mudhorobah dan musyarakah
adalah perjanjian pembagian keuntungan dan kerugian serta menghadapi resiko
hilangnya modal walau dengan pengawasan yang memadai. Tingkat resiko lebih
tinggi dibandingkan investasi lain.
3)
Investasi ekuitas selain investasi pasar saham tidak memiliki pasar
sekunder yang mengakibatkan besarnya biaya untuk keluar lebih awal. Tidak
likuidnya investasi tersebut dapat menyebabkan kerugian pada bank (Rianto,
2013, p. 260) .
Sebagai Contoh:
1)
Bank menderita kerugian atas fasilitas pembiayaan Mudhorobah yang
disalurkan kepada suatu nasabah yang bergerak di bidang usaha tekstil;
2)
Bank menderita kerugian akibat nasabah yang bergerak di bidang
usaha pertambangan batu bara mengalami penurunan omset penjualan dalam beberapa
bulan terakhir (Indonesia,
Ikatan Bangkir, 2014, p. 347) .
Dengan demikian, bank syariah harus memiliki strategi, manajemen
resiko dan proses laporan yang memadai sehubungan dengan karakteristik resiko
investasi termasuk investasi mudhorobah dan musyarakah. Bank
syariah harus memastikan metodologi valuasi yang tepat dan konsisten menilai
potensi dampak dari metode perhitungan dan alokasi laba. Bank syariah harus menetapkan
strategi keluar dalam kegiatan investasi modal mereka dengan persetujuan DPS (Rianto,
2013, p. 261) .
B.
Proses Manajemen Resiko Perbankan Islam
1.
Model Manajemen Resiko
Setiap
bank yang telah menerapkan manajemen risiko dengan baik biasanya memiliki
kerangka kerja manajemen risiko (risk management framework). Kerangka
kerja yang biasa digunakan adalah seperti gambar berikut:
Gambar.1
Kerangka Kerja Manajemen Resiko
Kerangka
kerja manajemen risiko yang baik selalu dimulai dari pemberian mandat dan
komitmen kepada salah satu unit dalam struktur organisasi bank. Dimana unit ini
bertanggung jawab untuk memastikan penerapan manajemen risiko di bank Islam.
Mandat komitmen tersebut biasanya tercantum secara jelas pada dokumen Risk
Management Character (RMC) yang di dalamnya memuat filosofi penerapan
manajemen risiko pada bank Islam, struktur organisasi manajemen risiko, wewenang,
tanggung jawab, berbagai ketentuan teknis kordinasi manajemen risiko, dan
proses evaluasi periodik terhadap praktik manajemen risiko di bank Islam. RMC
mencerminkan komitmen bank Islam menerapkan praktik manajemen risiko yang baik.
Komitmen tercantum secara eksplisit dalam sebuah dokumen legal yang dapat
menjadi dasar praktik manajemen risiko yang komprehensif.
Kerangka
kerja manajemen risiko pada gambar.1 mengikuti prinsip Plan-do-check-act (PDCA)
yang dimulai dari penyusunan desain kerangka kerja manajemen risiko (plan),
implementasi desain kerangka kerja manajemen risiko (do), monitoring,
dan review secara berkala (check), dan perbaikan secara kontinu
atas kerangka kerja manajemen risiko yang telah dijalankan (act).
Sehingga dapat disimpulkan bahwa kerangka manajemen risiko merupakan proses
yang berkelanjutan yang berjalan secara dinamis dan responsif terhadap berbagai
perubahan-perubahan yang ada.
Dari
kerangka kerja manajemen risiko yang telah disajikan diperoleh alur proses
manajemen risiko yang di dalamnya mencakup semua tahapan yang harus dilakukan
oleh bank.
Gambar.2
Alur
Proses Manajemen Resiko
2.
Penetapan Risk Appetite
Salah
satu cakupan penting dalam tahap penetapan konteks adalah ditetapkannya risk
appetite bank terhadap risiko. Risk appetite adalah tingkat
toleransi risiko dari manajemen bank dalam menciptakan nilai bagi pemilik bank.
Karena risiko merupakan hal yang tidak terpisahkan dari bisnis perbankan maka
manajemen perlu menyepakati seberapa besar sikap atau pandangan mereka terhadap
tingkat risiko yang dapat diambil.
Risk
appetite terdiri dari dua komponen utama, yaitu risk
tolerance dan risk limit. Risk tolerance menunjukkan seberapa
banyak cadangan modal yang secara kuantitatif dipersiapkan untuk mengantisipasi
risiko. Risk limit adalah batas toleransi risiko yang diperkenankan
untuk lebih granular, yaitu tingkat risiko yang dapat diterima pada
level unit bisnis atau divisi. Risk tolerance menggambarkan tingkat
risiko yang masih dapat diterima oleh bank secara keseluruhan karena dianggap
potensi kerugian yang akan terjadi masih dapat diserap oleh cadangan modal yang
dimiliki. Sedangkan risk limit merupakan panduan (guidance) bagi
setiap unit bisnis yang ada pada struktur organisasi bank Islam untuk mengambil
risiko pada setiap transaksi yang dilakukan.setiap transaksi yang masih berada
di bawah risk limit akan tetap dilakukan, namun jika diatas risk
limit, maka transaski tersebut sebaiknya ditinggalkan atau minimal perlu
pertimbangan lebih mendalam untuk menerimanya.
Gambar.3
Ilustarsi Risk-return
Trade Off
Expected
Return
|
A
|
C
|
B
|
x
|
x
|
x
|
Risk/Standard
Deviation
|
Jika
bank islam menghadapi dua pilihan transaksi dengan profil risk-return seperti
yang ditunjukan oleh titik A dan B, maka pilihan yang sangat rasional adalah
memilih transaksi A ketimbang B. Karena dengan tingkat return yang sama,
transaksi A memiliki risiko yang lebih rendah dibandingkan dengan transaksi B.
demikian halnya jika bank islam menghadapi dua pilihan transaksi dengan profil risk
return pada titik B dan C. secara rasional, bank islam seharusnya memilih
transaksi C dengan tingkat resiko yang sama, transaksi C mampu menawarkan return
lebih besar. Namun bagaimana jika bank islam dihadapkan pada dua pilihan
transaksi dengan profil risk – return pada titik A dan C? Disinilah risk
appetite menentukan pilihan mana yang dapat diambil oleh bank islam.
Trasaksi A dan C merupakan dua pilihan yang seimbang karna keduanya memenuhi
kaidah risk- return trade-off. Transaksi A memiliki resiko yang lebih
rendah dibandingkan dengan transaksi C dan oleh karnanya, return yang
ditawarkanpun lebih rendah. Bank islam dengan cadangan modal yang lebih tinggi
bisa memilih pilihan C. namun pertimbanganya bukan semata-mata ia mampu
menyerap kerugian yang mungkin ditimbulkan oleh transaksi C. transaksi tersebut
dipilih karena bank mampu menyerap potensi kerugian yang akan terjadi dan
transaksi tersebut menawarkan tingkat imbal hasil (return) yang sepadan
dengan resikonya. Oleh karena itulah risk return merupakan dua hal yang
selalu menjadi pertimbangan dalam memutuskan pilihan transaksi bisnis yang akan
dilakukan. (Wahyudi,
Dewi, Rosmanita, Prasetyo, Putri, & Haidir, 2013, pp. 60-64)
3.
Penilaian Resiko
Setelah
dapat diindentifikasi, maka risiko-risiko tersebut harus dinilai untuk
mengetahui tingkat keparahan kerugian yang akan diakibatkan dan tingkat
kemungkinan keterjadian risiko tersebut. hasil dari penilaian risiko tersebut
akan berguna untuk melakukan prioritasi risiko bank yang nantinya akan
dimitigasi. Metodologi umum yang digunakan dalam penilaian risiko adalah composite
risk index (CRI) yang dihitung dengan menggunakan formula berikut:
CRI = Dampak Kejadian Resiko X Probabilitas Keterjadian
|
Dampak
kejadian risiko dinilai dengan skala 1-5, dimana 1 mewakili minimum dan 5
mewakili maksimum dampak kerugian yang mungkin terjadi atas suatu risiko
(diukur dalam nilai mata uang). Probabilitas keterjadian juga dinilai yang
sama, yakni skala 1-5, dimana 1 mewakili probabilitas keterjadian yang sangat
rendah dan 5 mewakili probabilitas keterjadian yang sangat tinggi. CRI akan
bernilai antara 1-25 dan dibagi menjadi 3 kelompok, yakni interval 1-8
(rendah), interval 9-16 (sedang), 17-25 (tinggi). Bisa juga digunakan 4
kelompok dengan menambahkan kategori sangat tinggi (katastrofe).
4.
Proses Review Resiko
Dalam
proses manajemen risiko, terdapat proses evaluasi risko setelah analisis risiko
dilakukan. Evaluasi risiko merupakan proses yang sangat penting karena akan
menemukan langkah dan tindakan yang dapat diambil manajemen untuk mengelola
risiko tersebut. tujuan dilakukannya evaluasi dan review adalah untuk
membantu proses pengambilan keputusan, berdasarkan analisis yang didapatkan
dari analisis risiko, untuk menentukan kebijakan terkait perlakuan terhadap
risiko dan prioritas pengelolaan risiko yang harus dilakukan.
Pada
tahap evaluasi dan review resiko, tingkat risiko actual yang terjadi
pada bank islam dimonitor dan dibandingkan dengan berbagai ketentuan resiko
yang telah ditetapkan sebelumnya, seperti risk tolerance level, risk limit, dan
lain sebagainya. Ketidak cocokan yang terjadi antara kondisi actual dan
kebijakan resiko bisa berarti dua hal. Pertama, terjadinya pelanggaran terhadap
kebijakan manajemen resiko. Kedua, kebijakan resiko yang ditetapkan sudah out
off date sehingga harus direvisi dan disesuaikan dengan perkembangan zaman. (Wahyudi,
Dewi, Rosmanita, Prasetyo, Putri, & Haidir, 2013, p. 75)
BAB III
KESIMPULAN
1.
Bank syariah akan selalu berhadapan dengan berbagai dengan berbagai
jenis resiko dengan kompleksitas beragam dan melekat pada kegiatan usahanya.
Resiko dalam konteks perbankan merupakan suatu kejadian potensial, baik dapat
diperkirakan (anticipated) maupun yang tidak dapat diperkirakan (unanticipated)
yang berdampak negatif terhadap pendapatan dan permodalan bank
2.
Resiko adalah potensi kerugian akibat terjadinya suatu peristiwa (events)
tertentu. Resiko dalam konteks perbankan merupakan suatu kejadian
potensial, baik yang dapat diperkirakan (expected) maupun yang tidak
dapat diperkirakan (unexpected) yang berdampak negatif terhadap
pendapatan dan permodalan bank. Resiko juga dapat dianggap sebagai kendala
dalam pencapaian suatu tujuan
3.
Pada masa dekade ini, industry perbankan Indonesia dihadapkan
dengan risiko yang semakin kompleks akibat kegiatan usaha bank yang beragam
mengalami perkembangan pesat sehingga mewajibkan bank untuk meningkatkan
kebutuhan akan penerapan manajemen risiko untuk meminimalisasi risiko yang
terkait dengan kegiatan usaha perbankan. Masa depan industri perbankan Syari’ah
akan sangat bergantung pada kemampuannya untuk merespons perubahan dalam dunia
keuangan.
4.
Manajemen resiko merupakan aktivitas yang utama dari suatu bank
sebagai lembaga intermediasi yangbertujuan untuk mengoptimalkan trade off antara
resiko dan pendapatan, serta membantu merencanakan dan pembiayaan pengembangan
usaha secara tepat, efektif dan efisien.
5.
Sasaran kebijakan manajemen resiko adalah mengidentifikasi,
mengukur, memantau, dan mengendalikan jalannya kegiatan usaha bank dengan
tingkat resiko yang wajar secara terarah, terintegrasi, dan berkesinambungan.
Dengan demikian, manajemen resiko berfungsi sebagai filter atau pemberi
peringatan dini (early warning system) terhadap kegiatan usaha bank
6.
Manajemen resiko pada perbankan syariah mempunyai karakter yang
berbeda dengan bank konvensional, terutama karena adanya jenis-jenis resiko
yang khas melekat hanya pada bank-ank yang beroperasi secara syariah. Dengan
kata lain, perbedaan mendasar antara bank Islam dan bank konvensional bukan
terletak bagaimana cara mengukur (how to measure), melainkan pada apa
yang dinilai (what to measure)
7.
Penerapan Manajemen Resiko Bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha
Syariah, terdapat 10 (sepuluh) resiko yang harus dikelola bank. Kesepuluh jenis
resiko tersebut adalah resiko kredit, resiko pasar, resiko operasional, resiko
likuiditas, resiko kepatuhan, resiko hukum, resiko reputasi, resiko strategis,
resiko imbal hasil, dan resiko investasi
8.
Penerapan manajemen resiko dapat meningkatkan shareholder value,
memberikan gambaran kepada pengelola bank mengenai kemungkinan kerugian bank di
masa mendatang, meningkatkan metode dan proses pengambilan keputusan yang
sistematis yang didasarkan atas ketersediaan informasi, yang digunakan sebagai
dasar pengukuran yang lebih akurat mengenai kinerja bank, serta menciptakan
infrastruktur manajemen resiko yang kokoh dalam rangka meningkatkan daya saing
bank.
9.
Penerapan manajemen resiko di bank syariah wajib disesuaikan dengan
tujuan, kebijakan usaha, ukuran, dan kompleksitas usaha serta kemampuan bank.
Kompleksitas usaha adalah keragaman dalam jenis transaksi produk/jasa jaringan
usaha. Sementara itu, kemampuan bank meliputi kemampuan keuangan, infrastruktur
pendukung, dan kemampuan sumber daya insani.
10.
Penerapan manajemen resiko paling kurang memuat: Penerapan
manajemen resiko secara umum; Penerapan manajemen resiko untuk masing-masing
resiko, mencakup 8 resiko, yaitu resiko kredit, resiko pasar, resiko
likuiditas, resiko operasional, resiko hukum, resiko strategis, resiko
kepatuhan, dan resiko reputasi. Penilaian profil resiko. Kualitas penerapan manajemen
resiko meliputi: Tata kelola resiko Kerangka manajemen resiko Kecukupan proses
manajemen resiko dan Sistem pengendalian internal yang menyeluruh.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Ahmed, K. a. (2001). Risk Management:An Analysis of Issues in
Islamic Financial Industry. Jeddah: Islamic Development Bank (IRTI) .
Arifin, Z. (2009). Dasar-Dasar Manajemen Bank
Syariah. Jakarta: Azkia Publisher.
Djohanoputro, Bramanto. (2006). Manajemen
Resiko Terintegrasi. Jakarta: Penerbit PPM.
Emira, d. (2013). Comparative Analysis Of Risk
Management In Conventional And Islamic Bank. International Buseness Research
, 6, No.5.
Fahmi, I. (2011). Manajemen Resiko, Teori,
Kasus dan Solusi. Bandung: Alfabeta.
Herujito, Y. M. (2001). Dasar-Dasar MAnajemen.
Jakarata: PT. Grasido.
Indonesia, Departemen Pendidikan. (2005). Kamus
Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Indonesia, Ikatan Bangkir. (2014). Memahami
Bisnis Syariah. Jakarata: Gramedia Pusat.
Karim, A. (2013). Bank Islam: Analisis Fiqh dan
Keuangan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Mustikawati, d. (2013). Penerapan Manajemen Resiko
Untuk Meminimalisir Resiko Kredit Macet. Jurnal Administrasi Bisnis .
Rahmani, Y. (2009). Manajemen Resiko Perbankan
Syariah. Jurnal La Riba , 3 No 2.
Rianto, R. B. (2013). Manajemen Resiko
Perbankan Syariah Di Indonesia. Jakarta: Salemba Empat.
Romdhoni, A. H. (2012). Analisis Pembiayaan
Mudhorobah Di Bank Syariah Surakarta. Yogyakarta: TESIS UIN Sunan Kalijaga.
Saputra, A. (2012). Manajemen Resiko Pembiayaan
Mudhorobah. Yogyakarta: TESIS UIN Sunan Kalijaga.
Sari, L. K. (2014). Penerapan Manajemen Resiko
Pada Perbankan Syariah Di Indonesia. E Journal Unesa .
Veitzal, R., & Arivin, A. (2010). Islamic
Banking: Sebuah Teori, Konsep Dan Aplikasi. Jakarta: Bumi Aksara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar